Home » » Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger

Written By Abang Nonki on Sunday, November 15, 2009 | 12:16 PM


Sejak ditemukannya prasasti Tengger bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat dengan Prasasti Penanjakan bertahun 1324 Saka (1402 Masehi), diketahui bahwa sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Oleh karena itu kawasan Tengger merupakan tanah perdikan istimewa yang dibebaskan dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit.
Masyarakat Tengger yang taat beribadah dan menjalankan adat istiadat, memiliki hubungan historis yang sangat erat dengan Majapahit. Para raja yang bertahta dan pembesar keraton, telah memperlakukan secara khusus masyarakat Tengger yang sejak semula sangat menarik perhatian. Tidak heran jika kemudian terdapat perbedaan cirri-ciri khas antara pemeluk Agama Hindu di Tengger dengan pemeluk Agama Hindu di Bali.

Kukuh dalam mempertahankan adat istiadat selama berabad-abad, tanpa terpengaruh guncangan perubahan zaman, merupakan daya tarik bagi Ilmuwan khususnya para Anthropolog baik dalam maupun dari luar negeri, untuk mengadakan penelitian. Sehingga muncul berbagai versi sajian tulisan tentang uniknya Masyarakat Tengger di Probolinggo. Paparan itu ada yang berbentuk dongeng, cerita rakyat, serat dan kidung, legenda serta penulisan ilmiah. Ilmuwan asing yang pernah menelusuri sejarah Masyarakat Tengger adalah Nancy J Smith dan Robert W Hefner, berdasarkan versi mereka.

Masyarakat Tengger sarat dengan acara yang selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan maupun upacara adat. Karena sesanti “Titi Luri” yang mereka pegang teguh, maka setiap upacara dilakukan tanpa perubahan persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu (“Titi Luri”, berarti mengikuti jejak para leluhur atau meneruskan Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat nenek moyang secara turun temurun).
Selain taat beribadah dan sangat patuh menjalankan adat-istiadat, Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Nyaris tanpa adanya keonaran, kekacauan, pertengkaran maupun pencurian. Suka bergotong royong dengan didukung oleh sikap toleransi yang tinggi, disertai sesuatu yang khas, karena senantiasa mengenakan “kain sarung” kemanapun mereka pergi. Tidak terbatas laki-laki, namun wanitapun juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua berkain sarung. Masyarakat Tengger masih percaya dengan dengan roh halus, benda-benda gaib, tempat-tempat keramat serta berbagai mitos.

Kelompok-kelompok masyarakat Tengger dikepalai oleh seorang “Dukun”. Dukun-dukun tersebut dikepalai oleh Bapak Mudjono selaku Kepala Dukun. Dukun sebagai pimpinan Agama sekaligus sebagai Kepala Adat, bertugas dan bertanggung jawab dalam memimpin upacara-upacara adat. Dalam menunaikan tugasnya, Dukun dibantu oleh beberapa orang petugas yaitu:
  1. Wong Sepuh, bertugas sebagai pembantu dalam menyiapkan sesaji upacara-upacara kematian.
  2. Legen, bertugas membantu mempersiapkan peralatan dan sesaji pada upacara perkawinan.
  3. Dukun Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur remaja. Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam Agama Islam. Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedikit kulit ujung penis.
  4. Dukun Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan.
Memperhatikan betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka ditetapkan setiap desa dikepalai oleh seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga dengan persyaratan tertentu, yaitu:
  1. Laki-laki sudah menikah,
  2. Keturunan Dukun / titisan darah,
  3. Dapat menguasai semua mantera / adat istiadat. Ujian calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan bertepatan dengan Yadnya Kasada.
Upacara "Melasti" (Pensucian) tempat persembahyangan dalam rangka peresmian penggunaan Poten yang dihadiri oleh umat Hindu se Jawa Timur dan Bali (kiri), upacara keagamaan dalam rangka Hari Raya Galungan di Poten (tengah), dan Padmasana yaitu tempat pemujaan (kanan).

Konon yang merupakan “Cikal Bakal” masyarakat Tengger adalah sepasang suami istri yaitu Rara Anteng (Teng) dan Jaka Seger (Ger). Perpaduan dua suku kata itulah kemudian menjadi akronim yang dikenal dengan nama TENGGER. Rara Anteng ialah seorang putri Prabu Brawijaya dengan Garwa Padmi, raja terakhir Majapahit, yang termashur memiliki wajah ayu rupawan. Ia diasuh oleh seorang Resi bernama Ki Dadap Putih, tinggal dikawasan Gunung Bromo yang pada waktu itu masih berwujud hutan belantara.

Peta lokasi tempat-tempat keramat di daerah Tengger yang dikaitkan dengan nama 25 putra-putri Joko Seger dan Roro Anteng.


Pada suatu hari, seorang Senopati berdarah Brahmana yang bernama Jaka Seger sedang menempuh perjalanan jauh melintasi daerah ini bertemu dengan Rara Anteng. Kedua muda-mudi tersebut saling tertarik dan jatuh cinta yang akhirnya dikawinkan oleh Resi Ki Dadap Putih. Sejak saat itu Rara Anteng dan Jaka Seger resmi menjadi pasangan suami-istri.
Prosesi upacara pernikahan masyarakat Tengger
Bertahun-tahun Rara Anteng dan Jaka Seger mendambakan keturunan, namun Yang Maha Kuasa belum juga berkenan mengkaruniai putra. Maka bertapalah mereka di Watu Kuta menghadap Gunung Bromo. Siang malam hanya berdoa semoga Sang Maha Agung mengabulkan permintaannya.

Suatu ketika, terjadi isyarat alam yang sangat dahsyat. Gunung Bromo berdentum hebat. Dari kawahnya menyembur api yang membiaskan sinar kemerahan, menerangi pekat malam dan menyadarkan kekhusukan Rara Anteng dan Jaka Seger yang sedang bertapa. Mereka yakin bahwa peristiwa alam dahsyat yang baru saja terjadi merupakan isyarat bahwa permohonan akan terkabul.

Namun isyarat alam itu segera diikuti oleh terdengarnya suara gaib yang mengatakan: “Bahwa kelak apabila Sang Hyang Widhi berkenan mengaruniai putra-putri, salah seorang akan dijadikan korban persembahan ke kawah Gunung Bromo”. Kembali dentuman dahsyat kawah Gunung Bromo itu terjadi, seakan menjadi saksi, bahwa terkabulnya permohonan Rara Anteng dan Jaka Seger harus ditebus dengan persembahan salah seorang anaknya ke Kawah Gunung Bromo.


Ternyata isyarat alam itu benar. Selang beberapa waktu kemudian Rara Anteng melahirkan putra pertama. Anak sulung ini diberi nama Tumenggung Klewung. Disusul kemudian dengan putra-putri berikutnya yang jumlahnya sebanyak 25 orang. Anak paling bungsu diberi nama Raden Kusuma. Kehadiran 25 putra putri tersebut sangat membahagiakan. Namun dibalik kebahagiaan itu terselip kecemasan tentang syarat yang harus dipenuhi. Rara Anteng dan Jaka Seger senantiasa menjaga putra-putrinya dengan hati-hati. Kepada mereka disarankan untuk selalu menjauhi kawah Gunung Bromo.
Ketika pada suatu hari terdengar dentuman keras dari kawah Gunung Bromo, pasangan suami istri ini kembali menjadi gundah. Mereka menangkap isyarat alam yang maknanya merupakan peringatan untuk menagih janjinya. Diam-diam ada pertentangan batin yang sangat mengusik, antara kewajiban untuk memenuhi syarat dengan naluri orang tua yang menyayangi putra-putrinya. Pada akhirnya diputuskan untuk tidak merelakan salah satu dari putra-putrinya dijadikan korban persembahan. Mereka tepis semua kecemasan, kesanggupan untuk memenuhi syarat korban persembahan secara harus di lupakan.
Sumber: Kabar Indonesia | Aisyah Ferine Oksiana Putri | 15-Nov-2009, 00:40:23 WIB
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Tourism Travel News - All Rights Reserved
Modified and developed by Nonki
Brought to you by Nicolaus Lumanauw Ph.D