Home » » Hukum Udara Dan Ruang Angkasa Indonesia

Hukum Udara Dan Ruang Angkasa Indonesia

Written By Abang Nonki on Friday, January 23, 2009 | 10:35 PM


Hukum udara dan ruang angkasa berkaitan dengan kredibilitas suatu negara. Hal ini terkait dengan adanya kebijakan larangan maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa beberapa waktu lalu. Larangan tersebut di satu sisi menurunkan kredibilitas maskapai penerbangan Indonesia, namun di sisi lain, menunjukkan betapa kebijakan ini berkaitan dengan ekonomi dan kekuasaan suatu negara atau wilayah.
Demikian disampaikan guru besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. E. Saefullah Wiradipradja dalam kuliah purnabaktinya berjudul “Kebijakan Ruang Udara Terbuka (Open Sky Policy) dan Implikasinya Bagi Indonesia” di Bale Rumawat Padjadjaran, Jl. Dipati Ukur 35 Bandung, Kamis (22/01).
Larangan tersebut, menurut Prof. Saefullah, dianggap sebagai kegagalan maskapai penerbangan Indonesia dalam memenuhi standar keselamatan internasional. “Larangan itu merupakan bukti efektivitas Uni Eropa untuk menjaga keselamatan warga negara anggotanya,” ujar Prof. Saefullah.
Ia menambahkan, secara tradisional, kedaulatan negara (state sovereignty) dimaknai sebagai kekuasaan negara untuk mengatur persoalan internal tanpa ada intervensi dari negara asing. Namun konsep tersebut berubah secara perlahan-lahan. “Hal ini bahkan terjadi pada konsep kedaulatan negara di ruang udara,” kata Prof. Saefullah.
Menurutnya, kemajuan teknologi penerbangan merupakan salah satu faktor pengubah konsep. Perkembangan saat ini memperlihatkan kecenderungan di mana kedaulatan negara di ruang udara lebih dimaknai sebagai kedaulatan ekonomi daripada kedaulatan politik. “Secara tradisional, perkembangan konsep kedaulatan negara di ruang udara bertumpu pada tiga pemikiran, yaitu airspace as private property, ruang udara sebagai hak milik privat, kemudian airspace as res communes or res nullius atau ruang udara sebagai aset milik bersama atau tak ada yang memiliki, dan airspace as state property, ruang udara sebagai aset negara,” papar Prof. Saefullah.
Lebih lanjut, ia menjelaskan seiring kemajuan teknologi penerbangan, konsep ruang udara sebagai private property maupun res communes kehilangan momentum. Pada saat yang sama konsep kedaulatan negara atas ruang udara menguat. Kedaulatan negara yang bersifat absolut atas ruang udara juga dikuatkan lagi oleh Konvensi Chicago 1994 (Chicago Convention on International Civil Aviation).
“Sementara itu, implikasi kebijakan ruang udara terbuka bagi Indonesia, setidaknya ada dua hal penting yang patut diperhatikan. Pertama, kebijakan ini secara tidak langsung mengurangi kemutlakan kedaulatan negara atas ruang udaranya. Kedua, kebijakan ruang udara terbuka, khususnya yang diperkenalkan Uni Eropa menjadikan faktor keselamatan dan keamanan penerbangan sebagai salah satu alasan utama,” jelas Prof. Saefullah.
Untuk itu, Prof. Saefullah menganjurkan agar Indonesia mengembangkan “National Air Economy Policy” yang memperhitungkan segala aspek yang terkait secara komprehensif, bukan justru menganut Open Sky Policy sebagaimana dianut Uni Eropa. “Ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia berbeda dengan Uni Eropa, sehingga tidak tepat apabila kita mengadopsi kebijakan ruang udara terbuka, seperti yang dilakukan negara-negara Uni Eropa,” ujar Prof. Saefullah. (rth)
Sumber: Universitas Padjadjaran Bandung
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Tourism Travel News - All Rights Reserved
Modified and developed by Nonki
Brought to you by Nicolaus Lumanauw Ph.D